Minggu, 01 Februari 2009

“Bisa Jadi Bangsa Kuli!”

Musyawarah Nasional merupakan refleksi dari implementasi sense of belonging institusi anggota terhadap ISMKI. Bagaimana peran aktif institusi dalam mengupayakan perbaikan-perbaikan di tubuh ISMKI tercermin dalam ide segar, dan kreativitas yang mereka tuangkan dalam ketetapan-ketetapan Munas. Yang tentu saja, akan mereka laksanakan dengan konsisten, komitmen penuh, dan loyalitas tinggi segala apa yang telah mereka hasil dan tetapkan di Munas. Munas dan Mukernas ISMKI 2008 ini diselenggarakan oleh ISMKI dengan tuan rumah BEM FK Universitas Gadjah Mada.

Salah satu bagian penting dari Munas ISMKI setiap tahunnya adalah Seminar Nasional yang mengangkat isu-isu hangat kontemporer dan yang membuat istimewa pada Seminar Nasional kali ini, selain temanya yang sedang menjadi tantangan sekaligus ancaman bersama yaitu “Kesiapan Sistem dan Tenaga Kesehatan dalam Menghadapi Tantangan Global” yang sedikit banyak difokuskan pada pengkajian Free Trade Era, juga pembicara yang juga luar biasa, yaitu Menteri Kesehatan RI dr. Siti Fadlilah Supari, Sp.JP, Tokoh Nasional yang juga Dosen FEB-UGM Rimawan Pradiptyo, PhD, dan Sri Sultan Hamengku Buwana X yang pada kesempatan kali ini diwakili oleh Kepala Dinas Kesehatan DI. Yogyakarta dr. Bondan Agus Suryanto, SE, MA.

Auditorium II Fakultas Kedokteran UGM pagi itu dipadati oleh Peserta MUNAS MUKERNAS ISMKI XIV yang notabene adalah perwakilan BEM FK se-Indonesia, undangan, dan juga masyarakat umum digemparkan oleh pernyataan Ibu Siti Fadilah mengenai kegagalan sistem liberalisasi perdagangan internasional yang tadinya bertujuan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, pembangunan dan kesejahteraan umat manusia, namun malah menimbulkan banyak dampak negatif untuk umat manusia termasuk bangsa kita hari ini.

Dampak negatif globalisasi dalam bidang kesehatan di negara ini diantaranya adalah meningkatnya penyalahgunaan teknologi kedokteran, persaingan antar tenaga kesehatan asing dengan lokal, berubahnya filosofi pelayanan kesehatan dari sifat sosial menjadi komersial, semakin timpangnya pemerataan pelayanan kesehatan, sehingga semakin menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap mutu pelayanan kesehatan nasional sebagai akibat agresifnya pemasaran pelayanan RS PMA.

Banyak memang yang sudah dilakukan Departemen kesehatan sebagai terobosan SKN kita dalam era globalisasi seperti upaya revitalisasi pusat pelayanan kesehatan, pembiayaan yang efisien, meningkatkan kompetensi dan kuantitas SDM kesehatan, pengawasan penggunaan obat, alat kesehatan, serta makanan dan minuman, hingga pemberdayaan masyarakat.

Namun pasar bebas telah menunjukkan taringnya semenjak diberlakukannya banyak kebijakan internasional dan nasional yang mendukung globalisasi seperti Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO), Asean Free Trade Area (AFTA), General Agreement on Trade in Services (GATS), Asean Framework Agreement on Services (AFAS), ASEAN CHARTER (sebelum 7 Oktober 2008), hingga UU Nomor 7 tanggal 2 Nopember 2004 tentang Ratifikasi keanggotaan Indonesia sebagai anggota WTO. Sehingga dampak buruknya seperti pembauran (Ekonomi dan Budaya/tata nilai individu), lunturnya identitas kebangsaan, meritocracy (yg unggul lebih berhak hidup), dan Corporatocracy (Corporat menguasai kebijakan pemerintah) tidak dapat diredam secara penuh oleh usaha-usaha pemerintah (dalam frame wacana kita kali ini adalah Departemen Kesehatan) dan kearifan lokal saat ini.

Ada pula pernyataan Ibu Menkes yang lain, yang bahkan langsung dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat pada keesokan harinya, “Disahkannya UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) ini justru hanya mempersiapkan bangsa Indonesia menjadi bangsa kuli. Setelah lulus SMK misalnya terus hanya cari kerja, maka kita hanya akan menjadi bangsa kuli dan kulinya bangsa-bangsa seperti diungkapkan Bung Karno dahulu kala.”
”Saya tidak bisa menerima ketika sebuah langkah pencerdasan pendidikan dilakukan melalui komersialisasi dan ini muncul akibat globalisasi liberal yang tak bisa dihindari oleh Indonesia,” lanjutnya.
Menurut Menkes pendidikan yang dikomersialkan tidak sesuai dengan amanat UUD 1945 dalam rangka mencerdaskan bangsa. ”Saya ngeri kalau pencerdasan dilakukan melalui sebuah ladang komersialisasi. Menkes mengingatkan agar dunia pendidikan seperti PTN/PTS mempersiapkan dirinya untuk menjadi Badan Layanan Umum (BLU) agar bisa terbebas dari komersialisasi akibat disahkannya UU BHP.” Langkah ini sudah dilakukan di jajaran Depkes dan tengah dalam proses bagi seluruh rumah sakit pemerintah di Indonesia.

Dalam artikel yang sama Rektor Universitas Paramadina, Dr. Anies Baswedan, mengaku khawatir dengan disahkannya UU BHP menjadikan pengelola lembaga pendidikan membebankan biaya pendidikan kepada siswa dan mahasiswa sehingga menyebabkan biaya pendidikan akan semakin mahal. Sangat krusial, jika para siswa dan mahasiswa dijadikan beban oleh pengelola.
”Saya takutkan beberapa tahun ke depan kesulitan, tidak ada lagi lulusan universitas yang mau masuk ke pelosok-pelosok untuk mendorong kemajuan, padahal Indonesia, hanya memiliki 4,1 juta mahasiswa, itu sangat kecil sangat kecil,” katanya.
Di samping itu ketika pemodal asing menanamkan sahamnya diharapkan pemerintah tidak lepas tangan sehingga justru nantinya sebagian besar saham pendidikan Indonesia dimiliki asing. Bisa kita bayangkan betapa menyedihkannya wajah dunia pendidikan kita nantinya seandainya lagi-lagi pemerintah mengambil kebijakan yang merugikan rakyatnya sendiri.

Sehingga dapat kita tarik benang merah dengan pernyataan Ibu Menkes ketika menutup orasinya -lebih cocok dikatakan demikian melihat semangat beliau di depan para junior calon penerusnya ini- bahwa iming-iming peningkatan kompetensi dan barrier dari pemerintah tidak akan menjamin keamanan eksistensi profesi dokter dari anak negeri bila harus dihadapkan dengan raksasa kapitalis yang mengirim para ahlinya ke Indonesia dan menjadikan bangsa ini sebagai ”pasar emas” yang memang sudah terkenal konsumtif.

Sehingga solusi satu-satunya yang beliau tekankan adalah tidak ada kompromi : tolak liberalisasi! Kita harus berani mengubah sistem liberal yang sudah berakar dengan jalur konstitusional menjadi sistem yang adil dan merata sesuai dengan konstitusi (UUD 45 yang asli) sehingga nantinya kita bisa mengedepankan terwujudnya kedaulatan rakyat dan nasionalisme daripada kepentingan pribadi.

Terima kasih atas semangat yang kau titipkan pada kami Bunda, we’ll be a great five star medical doctor, agent of change, agent of health, agent of development. Hidup Kedokteran Indonesia!


Aidil Adlha
Pendidikan Dokter 2006
Presiden Mahasiswa BEM FK UGM 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar