Senin, 29 Desember 2008

Kapitalisme di Dunia Kedokteran

Terminologi “dokter” memberikan sejumlah predikat, tanggung jawab, dan peran-peran lainnya. Berdasarkan tinjauan historisnya, dunia kedokteran (pengobatan) pada awalnya dipandang sebagai sebuah profesi yang sangat mulia, sehingga dengan asumsi tersebut, maka orang-orang yang terlibat dalam proses hidup dan berlangsungnya dunia kedokteran kemudian dinisbahkan sebagai orang-orang yang juga memiliki kemuliaan; baik pada kata, sikap maupun tabiat yang dimilikinya. Dengan memandang profesi kedokteran sebagai pekerjaan yang senantiasa bergelut untuk menutup pintu kematian dan membuka lebar-lebar kesempatan untuk dapat mempertahankan dan meneruskan hidup seseorang, maka berkembanglah kesepakatan sosial (social aggrement) akan urgensi dari ilmu kedokteran sebagai salah satu prasyarat utama untuk dapat mempertahankan hidup.

Keberadaan tokoh legendaris Yunani, Hippocrates yang terkenal dengan Sumpah Hippocrates-nya, membuat dunia kedokteran semakin memperkokoh diri sebagai sebuah imperium pengetahuan yang memiliki eksklusifitas antropologis. Sehingga pada zaman itu dijumpai bahwa kewajiban untuk mereproduksi pengetahuan kedokteran sebagian besar hanya dilakukan pada lingkungan keluarga sang “dokter”, dengan menitikberatkan pada sistem leluri (turun-temurun), dan menganggap bahwa ilmu yang dimilikinya adalah wasiat Dewa yang tidak boleh punah, namun tidak boleh diberikan pada sembarang orang.

Seiring dengan perkembangan zaman, profesi kedokteran telah menjadi bagian integral dari sistem kehidupan manusia, dan karena grafik kebutuhan yang semakin meningkat yang tidak dibarengi oleh ketersediaan tenaga-tenaga medis profesional, maka profesi “dokter” terdesak menjadi sebuah lahan komersialisasi, apalagi dengan mulai munculnya pahaman kapitalisme, maka pekerjaan ini adalah lahan strategis meraup keuntungan material sebanyak mungkin. Praktik ini berlangsung secara berkelanjutan dan bahkan kemudian dipandang sebagai sebuah keniscayaan profesi.

Dengan semakin bertambahnya kompleksitas kehidupan manusia, maka ragam lingkup ilmu pengobatan (kedokteran) menjadi terdesak untuk melakukan pengembangan dan peningkatan kualitas, sesuai dengan kompleksitas objek pengobatan yang dijumpai dalam realitas. Peluang ini yang kemudian sedikit banyak dimanfaatkan oleh kaum kapitalis untuk mulai menanamkan akar ideologinya; merasuki dunia kedokteran menjadi sebuah lahan bisnis yang menggiurkan semua orang, meskipun pada sisi lain, jargon idealisme keilmuan turut mendasari proses pengembangan yang dilakukan.

Maka mulailah terjadi proses desakralisasi ilmu kedokteran (pengobatan), dimana setiap orang memiliki kesempatan untuk dapat memahami dan memilikinya, tentunya setelah menyanggupi syarat-syarat yang diajukan, melalui proses pendidikan yang lebih sistematik. Pada aras yang lain, pengembangan ilmu pengobatan yang sudah ada sebelumnya menjadi bagian yang tak terpisahkan, mulailah dilakukan penelitian-penelitian (medical research) dengan menggunakan teknologi modern, untuk menyempurnakan pengetahuan pengobatan yang telah ada.

Selaras dengan berkembangannya pendidikan dan penelitian kedokteran, maka mulailah didirikan perusahaan-perusahaan farmasi dan diperkenalkannya jenis obat-obatan modern hasil industri farmasi, agar lebih mengefektifkan pengobatan terhadap pasien. Akhirnya, pola pengobatan yang dipraktekkan kemudian terjebak pada sasaran utama; memberikan resep obat, bahkan semakin ekstrim, setiap penyakit harus diberikan obat dari hasil industri farmasi, ujung-ujungnya adalah biaya.

Maka mulailah didirikan institusi-istitusi pendidikan kedokteran yang lebih modern, bonafide, dan serba lengkap, mulai dari kurikulum hingga pada sarana dan prasarana pendukung pendidikan sebagai seorang calon “dokter”, dan tentunya dibarengi dengan prasyarat pembiayaan yang jumlahnya juga bonafide, tiada lain untuk memperoleh asupan dana besar untuk kepentingan materialisme, sehingga jadilah akhirnya dunia pendidikan kedokteran sebagai sebuah industri tempat memproduksi manusia-manusia yang relatif berpola pikir seragam; anamnese, observasi, eksperimen, diagnosa dan akhirnya resep obat.

UGM yang terkenal (dulu) dengan jargon kerakyatannya diharapkan (masih) mampu menjaga sakralitas dari fundamental keilmuan pengobatan ini melalui Fakultas Kedokteran dan Farmasinya dengan ketatnya penilaian atas kemampuan kognitif (academik), dan diharapkan selalu dibarengi dengan penilaian kemampuan affektif (sikap dan moral dalam menghadapi realitas) maupun psikomotoriknya (emosional-andragogic).

Sehingga nantinya tidah hanya mencetak kader kesehatan yang henya bermental “apapun penyakitnya yang penting resepkan obat” melainkan kader kesehatan yang memandang pasiennya sebagai individu yang menyeluruh baik fisik, mental, maupun sosial sehingga diharapkan membuka “pintu kesembuhan” yang menyeluruh pula.

Seorang calon Dokter yang gundah di penghujung deadline PPSDMS...